Pada tanggal 10 -14 November lalu, KKS mendapat kesempatan untuk berkunjung ke Tana Toraja, sebuah kabupaten di provinsi Sulawesi Selatan, bersama dengan CU. Celesta (Depok). KKS diwakilkan oleh Agnes Dewanty (Manajemen). Rombongan yang berjumlah 22 orang berangkat dari kantor CU. Celesta, Depok Timur, jam 11.00 siang dengan menggunakan Grab Car, masih banyak waktu memang untuk menunggu jadwal terbang pesawat Citylink kami jam 15.20 WIB, jadi selama menunggu, kami mengobrol dan tukar pendapat satu sama lain, sambil menikmati bekal makan siang yang sudah dibawa masing-masing dari rumah. Penantian selama 2 jam lebih jadi tidak terlalu terasa, sampai akhirnya kami dipanggil untuk segera menaiki pesawat.
Sebenarnya, perjalanan menuju ibukota Provinsi Sulawesi Selatan, Makasar, tidak terlalu lama, cukup ditempuh dengan waktu kurang lebih 1 jam 50 menit saja dengan pesawat terbang. Namun, dari kota Makasar menuju Toraja-nya itu yang memakan waktu cukup lama, apalagi harus ditempuh dengan perjalanan darat menggunakan bus sedang (karena satu-satunya sarana ya memang harus jalan darat, jalur udara masih belum mumpuni). Sembilan jam perjalanan yang sangat melelahkan harus kami tempuh untuk sampai di Toraja. Karena perjalanan malam, selain melelahkan juga terasa sangat lamaaaaa dan membosankan, jadi mau tidak mau yang kami lakukan hanya berusaha memejamkan mata dan tidur, itupun bila kelok-keloknya jalan tidak membuat kami mual dan pusing. Tidak sedikit juga peserta rombongan yang mabuk darat.
Waktu menunjukkan pukul 04.30 WITA, ketika kami menjejakkan kaki di Tana Toraja, di sebuah CU (Credit Union) yang berdiri nan megah dan menawan, CU. Sauan Sibarrung (CUSS). CU berlantai 4 ini memiliki sebuah wisma di lantai dasarnya yang terlihat bersih dan sangat nyaman, di sinilah tempat kami menginap selama 2 malam. Namun uniknya, semua kasur disini masih dibungkus plastik, jadi ketika tidur dan bergerak…suaranya “kereeseek..kereseek..kereeseek” . Setelah istirahat selama 2,5 jam, kami segera memulai kegiatan hari ini. Karena hari masih pagi, sekitar jam tujuh, rombongan diantar dulu oleh salah seorang peserta yang kebetulan asli Toraja, ke sebuah tempat yang sudah menjadi “landmark” kota Toraja, yaitu Tempat Wisata Burake, dimana terdapat Patung Kristus Raja yang sangat fenomenal itu. Lokasinya sebenarnya sangat dekat dengan CUSS, namun karena berada di atas puncak bukit yang tinggi, jadi janganlah ditanya perjalanannya menuju ke sana, sungguh aduhaaaiii….karena tidak bisa menggunakan bus, jadi kami menumpangi mobil yang sudah disewakan (ada sekitar 4 mobil), jalannya mananjak tiinggiiiiiii sekali, berbatu kapur besar-besar (belum diaspal), kanan tebing kiri jurang tanpa ada pembatas apapun dan barkelok-kelok tajaam hingga mencapai puncak bukitnya….sungguh memacu adrenalin dan tak akan terlupakan. Namun, semua itu jadi tidak berarti setelah kurang lebih setengah jam kemudian, kami sampai di puncaknya di mana patung Kristus Raja berdiri dengan sangat megahnya. Patung Yesus yang berdiri secara keseluruhan setinggi 40 meter di puncak Buntu Burake menghadap Kota Makale ini digadang-gadang telah mengalahkan tinggi Patung Kritus Penebus di Brasil karena letaknya berada pada elevasi 1.100 mdpl. Kalau tinggi patungnya saja masih kalah tinggi, namun kalau tinggi dari permukaan laut, monumen di Buntu Burake ini adalah yang tertinggi. Luar Biasa..
Setelah puas berfoto-foto, selfie, wefie dan menikmati pemandangan indah Kota Toraja dari dataran tinggi, kami kembali ke CUSS dengan melewati jalan yang sama saat berangkat tadi, namun kali ini kengerian itu berkurang, karena sepanjang perjalanan yang ada kami tak hentinya mengomentari keindahan kota Toraja dan patung raksasa mahakarya tersebut.
Setibanya di CUSS, kami sudah disambut Pengurus dan Pengawas CUSS di lantai 1 yang ternyata sebenarnya merupakan kantor cabang Makale yang baru pindah, sementara kantor pusatnya ada di lantai 2. Di sisi kiri ruang tunggu terdapat satu ruangan khusus untuk menjual produk-produk kerajinan anggota yang bisa dibeli oleh siapa saja, termasuk para peserta rombongan yang “kalap” melihat barang-barang unik dan menarik, ada rumah-rumahan tongkonan (rumah khas Toraja), kain tenun/syal khas Toraja, perabot rumah tangga, makanan, sirup, dll. Dan tidak ketinggalan, di depan ruangan tersebut, juga ada sebuah alat yang terbuat dari dua batang pohon yang besar, yang berdiri sejajar dan disimpan dalam kotak kaca. Setelah bertanya-tanya, ternyata itulah alat yang dinamakan “Sauan”, yaitu sebuah alat buatan penduduk asli Toraja jaman dulu, yang dipercaya sebagai asal-muasal keluarnya nenek moyang mereka (ada 9 nenek moyang), dan dipakai untuk meniup dan menjaga api di depannya supaya tetap bernyala. Inilah asal nama CU mereka, Sauan Sibarrung. Sibarrung sendiri memiliki arti “selaras”, jadi selama memainkan Sauan baik yang kanan maupun yang kiri (dengan cara memompa tuas di atas batang pohon), itu harus selaras atau “Sibarrung” supaya tidak besar/kecil sebelah yang malah bisa menyebabkan api menjadi padam. Filosofinya, CU (baik Pengurus, Pengawas, Manajemen dan Anggota) harus selalu selaras dalam menjalankan usaha koperasi, demi menjaga keberlangsungan CU itu sendiri.
Pengurus CUSS berjumlah 7 orang, Pengawas 3 orang. Dalam kegiatan sehari-harinya mereka dibantu oleh para Komite dan Sangayoka (sukarelawan, biasanya orang yang dipercaya sebagai perpanjangan tangan dari CUSS, dan mempunyai pengaruh di masyarakat). Sangayoka ini berjumlah sekitar 285 orang, mereka tidak digaji namun dengan sukarela menyebarkan warta tentang CU. Untuk menjadi Pengurus/Pengawas di CUSS, para kandidat selain harus Anggota, mereka juga harus melalui tahap sebagai Sangayoka dan Komite dulu. Setelah berkenalan, menyampaikan maksud dan tujuan kedatangan kami, bersilahturami dan foto-foto, kami pun diantar menuju ke lokasi komunitas masyarakat, yaitu di TP Rantetayo di Dusun Rarung yang merupakan TP dengan Anggota terbanyak. Perlu diketahui, bahwa CUSS ini memiliki banyak komunitas masyarakat yang tersebar di seluruh wilayah Toraja, yang biasanya dikepalai oleh seorang Sangayoka. Dan uniknya, di setiap komunitas tersebut, mayoritas merupakan anggota CU, namun mereka yang bukan anggota pun ikut aktif mebangun komunitasnya masing-masing. Seperti di TP Rantetayo ini, dari 86 KK, hanya 4 KK yang tidak menjadi Anggota CUSS, hal tersebut dikarenakan usia mereka yang sudah tidak memenuhi persyaratan untuk menjadi anggota, namun hal tersebut tidak menghalangi mereka untuk ikut Pelatihan yang diadakan CUSS, berkomunikasi dan bersosialisasi di lingkungan CU.
Pada saat kami kunjungan, kami diterima dengan sangat ramah, baik oleh Sang Sangayoka, manajemen TP, maupun oleh anggota komunitas. Kami banyak menggali informasi dari mereka tentang bagaimana performa manajemen sosial (Social Performance Mangement/SPM) dijalankan di sana. CUSS sudah sangat baik dalam mengelola SPM ini, buktinya, sejak berdirinya pada tanggal 07 Desember 2006, CUSS sudah banyak mendapatkan penghargaan dan prestasi, diantaranya Penghargaan sebagai Koperasi Berprestasi tingkat Provinsi Sul-Sel di tahun 2011, masuk dalam 100 Koperasi Terbesar di Indonesia tahun 2012 yang dikeluarkan oleh Kementrian Koperasi dan UKM RI, juga yang belum lama, mendapatkan penghargaan KSP Award di tahun 2014 untuk kategori Penumbuhan Keanggotaan Paling Cepat dari Kementrian Koperasi dan UKM RI (data per 10 November, jumlah anggota CUSS mencapai 31.400 orang dari 1.944 orang di awal berdirinya). Perkembangan anggota yang signifikan ini tidak lepas dari aktifnya komite Sangayoka dan manajemen CUSS yang sering mengadakan motivasi di berbagai wiilayah pengembangan CUSS. Selain itu, di CUSS juga memberlakukan sistem tanggung renteng untuk kelompok-kelompok dalam komunitas yang sudah berjalan sangat baik dan membuat NPL (Non Performing Loan/Kredit Bemasalah/Lalai) mereka (komunitas) nol persen. Mengapa bisa demikian? Karena sistem tanggung renteng ini tidak memungkinkan adanya anggota yang lalai/tidak mengangsur pinjaman. Jika ada anggota yang tidak bisa membayar, maka anggota lain dari kelompok itu akan ikut menangunggnya, karena jika tidak, justru mereka semua akan terkena imbasnya (baik denda maupun sanksi lainnya).
Sebelum beranjak dari TP Rantetayo, kami juga dijamu makan siang dengan masakan khas Toraja yang rasanya sedikit asing di lidah kami (karena salah satu menunya dari olahan batang pisang) namun tetap terasa nikmat, karena kami makannya bersama-sama, lesehan di bawah tongkonan-tongkonan (rumah/lumbung padi khas Toraja). Selain itu, kami juga disuguhi minuman khas Toraja, Ballo (semacam tuak) yang baru saja diambil dari getah pohon enau dan diminum langsung dari potongan-potongan bambu memanjang, dan tentu tidak ketinggalan juga secangkir kopi Toraja yang terkenal itu, yang harumnya sungguh sangat menggoda. Hmm…
Setelah seharian mengunjungi TP CUSS (Rantetayo & Rembon), malam harinya seharusnya kami masih berdiskusi dengan Pengurus-Pengawas CUSS, namun karena ada sedikit miskomunikasi, akhirnya kami (peserta) berdiskusi sendiri tanpa adanya Pengurus-Pengawas CUSS. Keesokan harinya kami berkesempatan mengunjungi tempat-tempat wisata yang rata-rata adalah tempat pemakaman, diantaranya yaitu Londa, yang merupakan pemakaman keluarga Tolake, di sini kami diajak memasuki ke dalam gua, di mana banyak ditaruh jenazah-jenazah para anggota keluarga, ada yang di dinding gua, ada pula yang di celah-celah di langit gua. Tak jarang, kami melihat tulang-tulang rangka tubuh dan tengkorak yang bergeletakan di celah ceruk-ceruk gua. Makam lain yang kami kunjungi adalah Katekesu, hampir mirip dengan Londa, di sini pun kami banyak menjumpai tulang-belulang dan tengkorak, bedanya, untuk mencapai mulut gua, kami harus menaiki dulu kurang lebih 300 anak tangga, melelahkan, namun sangat menarik dan membuat penasaran. Satu lagi tempat wisata makam yang tak kalah menarik, yaitu Suaya Makale. Di sini terdapat makam raja-raja dan juga museum benda purbakala. Makamnya berada di tebing yang tinggi. Kalau diperhatikan, tebing itu memiliki lubang-lubang yang berbentuk kotak dengan ukuran tidak lebih dari setengah meter, namun menurut informasi ternyata di dalam lubang itu terdapat tempat yang luas dan tinggi (bisa masuk sekitar 50 orang dan bisa berdiri), sayangnya kedatangan kami tidak pas pada saat ada pemakaman orang Toraja, jadi tidak bisa melihat langsung prosesnya bagaimana jenasah dinaikkan ke dalam lubang dan sebagainya. Dari sekian wisata makam yang kami kunjungi, ada satu yang merupakan makam khusus untuk bayi-bayi yang meninggal di bawah usia 6 bulan (biasanya yang belum tumbuh gigi), yaitu Baby Grave Kambira. Di sini lebih unik lagi, bayi-bayi yang meninggal itu ditanam/dimakamkan di dalam sebuah pohon besar yang bernama Tara. Getah pohon tara yang putih bersih, dianggap sama seperti ASI, jadi meskipun bayi-bayi itu sudah meninggal, namun mereka masih bisa menyusu dari getah pohon Tara. Jadi, jenasah bayi-bayi itu dibungkus kain putih dan dimakamkan berdiri membelakangi rumahnya, misal rumahnya di utara, maka jenasah bayi harus menghadap ke selatan. Hal tersebut diyakini masyarakat untuk menghindari arwah bayi tersebut ingin kembali pulang ke rumahnya dan mengajak anggota keluarganya untuk ikut serta.
Belum puas rasanya hanya seharian menjelajah Toraja dengan segala keunikan budayanya, namun akhirnya sampai jua kami di hari di mana harus kembali pulang. Kembali melewati jalan berliku 9 jam menuju Makasar, namun kali ini di siang hari, dan ternyata pemandangannya….sungguh menakjubkan. Sepanjang jalan mata ini disuguhkan pesona perbukitan yang menyejukkan, lengkap dengan lekukan sungai dan jalan-jalan pematang yang terlihat kecil di kejauhan, sungguh seperti lukisan. Orang sering menyebutnya Gunung Nona, ini di daerah Enrekang. Hanya satu kata yang bisa menggambarkannya, Sempurna….
Namun, tetap saja, pemandangan indah tidak menghalangi rasa mual dan pusing yang melanda sebagian peserta. Terbukti, pada saat pulang, lebih banyak lagi yang mabuk perjalanan, ibu-ibu, bahkan bapak-bapak pun ikut mabuk, bahkan sampai ada yang harus dikeriki di bus. Walah walah…perjalanan ini mengingatkan saya pada Kelok Sembilan di Palembang….benar-benar membuat mabuk kepayang.
Kami tiba di Makasar pada sore hari dan langsung check-in di sebuah hotel dekat Pantai Losari untuk menginap semalam. Karena ini acara bebas, jadi kami manfaatkan untuk belanja oleh-oleh dan main-main di Pantai Losari, saya sendiri, memanfaatkan kesempatan ini untuk singgah ke rumah keluarga yang kebetulan ada Makasar. Keesokan harinya kami masih ada kesempatan untuk singgah di tempat wisata terkenal di Makasar, yaitu Benteng Rotterdam, Gua Leang-leang dan Taman Kupu-kupu Bantimurung, hingga jam menunjukkan pukul 15.00 WITA, dan kami pun beranjak menuju bandara Sultan Hassanudin untuk kembali ke Jakarta.
Sekian sepenggal kisah kunjungan kami ke Toraja, semoga banyak ilmu yang bisa kita terapkan di KKS, dengan melihat sendiri bagaimana SPM itu dijalankan di Toraja, namun tetap melihat pada analisa SWOT, mana yang bisa kita pakai mana yang tidak, karena yang pasti banyak perbedaan antara Toraja dengan Cibinong, diantaranya perbedaan budaya, tingkat pendidikan, perekonomian, mata pencaharian, geografis, dll. Namun, kunjungan ke CU. Sauan Sibarrung di Toraja dengan segala profesionalitas, kerahaman, keindahan dan keunikan budayanya….tetap menjadi pengalaman yang tidak akan terlupakan dan semakin membuat saya bangga sebagai Bangsa Indonesia dan juga sebagai anggota CU. Salam PRIMA!! #nez.
Leave a Reply