SEJAHTERA….. Sebuah Cita-cita Yang Tidak Akan Pernah Berkesudahan

posted in: Admin, KKS, KKS WiBar, KKS WiSel, KKS WiTar, KKS WiTim | 0

Matahari bersinar cerah pagi itu ketika saya bertandang ke kediaman Bapak Frans Tantri Dharma untuk berbincang-bincang. Dengan senyum sumringah dan keramahannya, Pak Frans (begitu ia biasa dipanggil), mempersilahkan saya masuk ke ruang tamunya yang luas dan bersebelahan dengan ruang kerjanya. Di usianya yang akan menginjak 70 tahun pada September tahun depan, ia masih terlihat sangat sehat dan segar. Begitu saya dipersilahkan duduk, obrolan pun berlangsung lancar dan santai.

Pak Frans merasa surprise sekali dikunjungi KKS. Memorinya pun kembali diputar ke belakang, beberapa tahun lalu saat awal ia bergabung di KKS. Bermula dari pertemuannya dengan seorang aktivis Gereja Katholik Stasi Santo Philipus (sekarang Paroki Keluarga Kudus Cibinong), Bpk. Harja Purwadi. Pak Harja banyak bercerita tentang CU (Credit Union) dan keinginannya untuk memajukan perekonomian masyarakat Cibinong dan sekitarnya. Dan sebagai orang muda saat itu, yang punya cita-cita yang sama, hatinya tergerak juga melihat semangat yang membara dari seorang Harja Purwadi dan memutuskan untuk bergabung dalam gerakan CU ini.  Akhirnya pada tahun 1972, Pak Frans muda bergabung sebagai anggota CU. Sejahtera (nama KKS saat itu)  dengan nomor anggota masih sangat kecil, yaitu nomor 20. Ia pun mengalami perpindahan kantor KKS dari satu tempat ke tempat lain.

Pada tahun 1973, ia dikirim pelatihan tentang koperasi oleh Pak Harja ke daerah Kebayoran Baru di Departemen Transmigrasi dan Koperasi selama kurang lebih 5 hari.  Dari sini, semakin tumbuh keyakinan dalam dirinya,  bahwa inilah “alat” yang dibutuhkan untuk mewujudkan cita-citanya, yaitu melalui Koperasi Kredit atau Credit Union. Cita-citanya yang dimaksud adalah yang tertuang dalam nama sejahtera itu sendiri, yaitu mewujudkan masyarakat adil, makmur dan SEJAHTERA. Karena, dari jaman sekolah dulu sudah diajarkan, bagaimana membentuk manusia yang adil dan makmur. Hal ini lantas tertanam selalu dalam benaknya dan banyak orang juga tentunya. Terlebih dahulu sang ayah mempunyai sebuah pabrik kapur, yang memiliki banyak pekerja pengangkut batu-batu kapur/batu karang, yang dulu disebut “kuli”.  Sebutan ini dahulu kala seolah menjadi penanda/cap pada mereka bahwa mereka berasal dari kalangan  “bawah”/rendah pada saat itu. Jadi, pada saat itu, cita-cita membentuk masyarakat adil, makmur dan sejahtera menjadi sangat pas.

Ketika saya bertanya, apakah menurutnya cita-cita tersebut sudah tercapai sekarang? Ia sempat terdiam dan lantas menjawab, “Belum.” Sebuah jawaban yang cukup mengejutkan. Mengingat selama ini, sudah banyak anggota yang mengaku mereka menjadi lebih sejahtera karena terbantu oleh KKS, yang tadinya belum punya rumah, sekarang sudah punya rumah sendiri, yang tadinya bingung apakah anak-anaknya bisa sekolah atau tidak, tapi ternyata mereka bisa mencapai jenjang kuliah.  Lalu mengapa jawabannya “belum”?.  Sebelum saya bertanya kembali, ia segera melanjutkan kalimatnya,  “Saya harus berani bilang belum.  Mengapa? Karena cita-cita itu tanpa batas.  Selama kita hidup,  cita-cita itu tidak akan pernah selesai, karena kita tidak akan pernah tahu apa yang akan terjadi di masa depan,  kalau kita sudah tahu,  kita tidak akan melakukan apa-apa lagi. Jadi, kita harus tetap berpikir cita-cita itu belum tercapai, supaya baik kita sebagai pribadi, maupun kelompok lalu bersama-sama merumuskan kembali bahwa yang namanya adil, makmur,  sejahtera itu sama seperti yang ada di pikiran kita selama ini dan harus disesuaikan dengan keadaan masyarakat sekarang ini, yang bisa dibilang sedang mengalami perubahan dahsyat.” Dan saya pun jadi memahami maksud jawabannya. Ya, cita-cita itu sebenarnya akan selalu menjadi motivasi kita untuk meraih pencapaian yang lebih baik lagi. Jika selama ini saya berpikir, sudah banyak anggota yang menjadi sejahtera karena KKS,  saya dipaksa untuk berpikir kembali, berapa banyak yang sudah sejahtera? Dari enam belas ribu lebih anggota KKS, berapa persen yang sudah merasakan Sejahtera?  Apakah sudah semuanya? Dan, saya pun harus jujur menjawab, “belum”. Dan mulai saya pahami mengapa cita-cita itu memang belum tercapai sepenuhnya seperti jawaban kakek 9 cucu ini.

Perjalanan Pak Frans selama ini di koperasi kredit,  dianggapnya seperti tonggak-tonggak semangat. Apa artinya semangat tanpa tonggak-tonggak? Sekarang giliran kaum muda yang menjadi tonggak-tonggak semangat saat ini, yang juga sama punya cita-cita yang ingin dicapai, jauh ke depan sesuai dengan keadaan/masa sekarang ini. Karena apa jadinya jika orang muda tidak punya cita-cita? Seperti tanpa tujuan/pendirian. Orang-orang mudalah gilirannya sekarang untuk meneruskan apa yang sudah dimulai oleh para pendahulu. “Perjalanan KKS seperti perjalanan menuju impian. Impian itu belum selesai. Kami yang sudah sepuh, harus meyadari sudah ada yang harus ditinggal (letting go), tidak bisa selalu mempertahankan dan harus bisa menerima hal yang baru yang sudah selayaknya terjadi (letting come). Inilah yang disebut regenerasi. Namun orang tua pun harus bisa menyelesaikan apa yang menjadi panggilan hidup dia selama ini”, ujarnya.

Menurutnya, orang muda sekarang harus punya yang namanya ekonomi pengalaman (seperti dimuat dalam harian KOMPAS beberapa waktu lalu). Orang muda yang punya semangat tinggi juga membutuhkan pengalaman-pengalaman, baik dari yang dialaminya sendiri maupun sharing dari mereka yang sudah berpengalaman (letting come). Hal ini bisa ditimba jika kita semua kumpul/ duduk bersama/berdialog, ia mencontohkan seperti yang sedang kami lakukan sekarang ini (berdialog) dan saling mendengarkan untuk menemukan rumusan baru. Dan ini bisa terjadi kalau orang mau terbuka dalam mengungkapkan “isi hatinya”.  Bisa juga dengan mengadakan FGD (Focus Group Discussion) yang terdiri dari 5 – 10 orang, saling berdiskusi membahas “studi kasus” tertentu, misalnya yang bisa menjadi topik adalah: mengapa saat ini promosi tentang CU di masyarakat kurang mengena, atau mengapa akhir-akhir ini banyak anggota yang keluar, atau mengapa pinjaman saat ini menurun, dan sebagainya.  Atau dialog bisa juga dilakukan oleh para pengurus dan pengawas dulu untuk duduk bersama merumuskan cita-cita yang ingin dicapai kembali dengan saling mendengarkan, dan tidak memotong jika yang satu sedang berbicara. Cara tersebut sebenarnya bisa juga ditempuh untuk mengatasi permasalahan yang ada di kopdit. Ini merupakan kesempatan yang bagus bagi setiap pribadi untuk mengungkapkan isi hatinya demi kemajuan bersama.

“Tahun 1995 dulu sebenarnya kita sudah diperkenalkan dengan istilah Wira Koperasi, tapi kenapa sekarang seolah istilah ini seperti “masuk laci”? Bu Siwi (manajer KKS dulu) sebenarnya sudah mencoba bersama dengan 5 rekannya wirausaha lainnya, waktu itu usaha Bu Siwi adalah jahitan, namun hanya kurang lebih setengah tahun bertahan. Struktur wira koperasi sebenarnya sama dengan koperasi kredit (ada manajer sebagai pengelola).  Namun memang untuk menjalankannya, orang harus punya jiwa/mental usaha sejati, artinya dia akan tekun dan tidak mudah menyerah/putus asa bila ditempa masalah, malah harus semakin bangkit dan kuat. Panggilan hidup inilah yang seharusnya dimiliki para orang muda. Saat ini kita mengalami gerakan kemiskinan, jadi anggota-anggota juga harus diberdayakan. Ini bukan tugas kami lagi orang-orang tua, kami sudah harus say goodbye (letting go and letting come tadi),” ujarnya menambahkan.

Pak Frans juga mengatakan, di sisi lain, kita juga harus mulai berubah, artinya untuk bisa mencapai keberhasilan kita harus berteman/berkelompok. Cari teman yang benar-benar satu hati, satu pemikirian/tujuan. Kita harus berubah, jika tidak kita akan jadi orang yang individualis  (kalau tidak mau dibilang egois). Kopersi juga adalah sekelompok orang, dan jika sudah kelompok, maka sudah seharusnya kita tidak lagi berpikiran egois, tapi semua tercurah pada panggilan kelompok dan masing-masing individu ini dengan caranya masing-masing akan berbagi tugas menyebar ke luar berdasarkan keahlian masing-masing, misal satu di bidang pertanian, satu di bidang keuangan, organisasi, hukum, dll. Akhirnya kepentingan-kepentingan individu akan tergerus dengan sendirinya atau akan ditinggalkan. Belum lagi alam semesta ini akan berbicara banyak dalam mendukung kita, padahal tanpa kita sadari apa yang kita lakukan didukung juga oleh semesta. Misal, saat kita jalan kemana-mana, kita didukung oleh kendaraan, cuaca,  udara yang kita hirup, pohon-pohon dan sebagainya. Kita lupa sebenarnya semua merupakan satu kesatuan yang saling mendukung (ekosistem). Tapi manusia yang kadang tidak sadar dan malah merusak, misalnya dengan membuang sampah sembarangan, menebang pohon secara liar, dsb. Ini merupakan satu tantangan berat untuk orang muda.

Setelah 15 tahun aktif di KKS, baik sebagai panitia kredit,  maupun panitia pendidikan, Pak Frans resmi keluar dari kepengurusan tahun 1987, karena ia mulai sibuk untuk mengurus usahanya sendiri yaitu sebagai distributor Koran, yang sampai dengan hari ini sudah dijalaninya selama 33 tahun. Namun, karena jiwa koperasi sudah mengental dalam darahnya, jadi ia dan teman-temannya tetap selalu bersama “mengawal” KKS (termasuk sahabat karibnya hingga saat ini, Bpk. CH. Sukirman), terlebih sepeninggal Bpk. Harja Purwadi di tahun1991.

Pak Frans bercerita sedikit mengenai sosok Pak Harja,  sang pendiri KKS. Sosok Pak Harja di matanya adalah seorang pribadi yang kalem, lembut, namun memiliki kharisma dan kepercayaan diri yang tinggi, yang katanya sangat berlawanan dengan dirinya yang kurang percaya diri. Dulunya, Pak Harja adalah seorang tukang kayu  (membuat kotak-kotak/box kayu kemasan untuk dikirim ke pabrik-pabrik, misal ke pabrik batu baterai, yang biasanya memakai kotak buatannya sebagai packing untuk pengiriman ke daerah-daerah. Namun, sebagai sosok yang peduli lingkungan dan takut merusak ekosistem,  (karena untuk membuat box kayu itu ia harus menebang banyak pohon), maka ia memutuskan untuk berhenti sebagai tukang kayu, dan akhirnya bisa konsentrasi penuh ke koperasi, sehingga ia bisa datang setiap hari.  Seingatnya, Pak Harja meninggal dunia karena darah tinggi, setelah sebelumnya beberapa kali masuk rumah sakit. “Jika saya tidak salah mengingat, ia meninggal berdekatan dengan hari koperasi, yaitu 13 Juli 1991 (Hari Koperasi diperingati setiap tanggal 12 Juli-red). Seperti ini mungkin orang yang sudah cinta dengan sesuatu,  meninggal pun berdekatan dengan hari kecintaannya,  yaitu koperasi, mungkin ia ingin memberi kenangan bagi penerusnya,” ujar Pak Frans sambil tersenyum mengenang.

Ia merasa sangat beruntung mengenal CU, karena CU adalah sebagai wadah belajar, banyak pengetahuan dan pendidikan yang ia dapat, salah satunya adalah tentang Johari Window. Dalam Johari window, ada 4 jendela, yaitu Open, Blind, Hidden dan Unkown. Nah hal ini juga bisa diterapkan dalam diskusi kelompok tadi.  Saat ini banyak tantangan bagi koperasi, terlebih dengan adanya serangan “tsunami digital” saat ini. Semua bisa dengan mudah diakses dengan gadget. Orang tidak harus datang ke bank untuk menabung tau ke loket untuk membayar listrik/beli pulsa, atau tidak harus ke supermarket untuk mendapatkan barang kebutuhan mereka. Serangan “tsunami digital” ini sedikit banyak yang menjadi salah satu alasan mengapa saat ini banyak usaha ritel yang gulung tikar, bahkan yang sudah punya nama sekalipun. Koperasi pun tidak dipungkiri, saat ini bisa dibilang sedang mengalami kelesuan, misal angka pencarian pinjaman menurun, yang imbasnya pendapatan menjadi turun dan makin menumpuknya uang di bank (idle money). Jadi, insan-insan koperasi harus kreatif dan bisa berinovasi. Jika tidak, maka tidak mustahil koperasi akan jauh tertinggal.

Tidak terasa waktu sudah berjalan selama dua jam sejak KKS datang. Sebelum pulang, Pak Frans berpesan, “KKS harus tetap pada cita-cita koperasi, karena cita-cita itu punya nilai yang abadi, yaitu salah satunya dengan menjadi manusia yang utuh. Manusia yang utuh itu seperi apa? Saya kasih contoh seperti ini: kalau kita makan pisang, kita hanya makan isinya saja kan? Tapi, kulitnya pasti kita buang. Nah, katanya kita menerima semua apa yang diberikan Tuhan untuk kita, namun kenapa kulit pisang kita buang, tidak kita makan? Inilah, artinya kita belum bisa menjadi manusia seutuhnya. Suatu tantangan besar untuk kita. Namun, kita tidak tahu apa yang akan terjadi ke depan. Mungkin dengan ekonomi kreatif,  anak-anak muda sekarang bisa mengolah kulit pisang sedemikian rupa sehingga nantinya bisa dimakan juga.  Mungkin….” ujarnya sambil tertawa menutup obrolan kami siang itu.

Terima kasih atas waktunya Pak Frans…semoga Bapak selalu diberi kesehatan, semangat dan umur panjang,  sehingga bisa selalu mengawal KKS menggapai cita-cita yang seperti kobaran api yang tidak pernah padam. Salam PRIMA!! (ans-red)

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *